Search

International Webinar mengenai Pembelajaran & Pembagian Pengalaman Bencana

International Webinar mengenai Pembelajaran & Pembagian Pengalaman Bencana

PPI Jepang Selenggarakan International Webinar mengenai Pembelajaran & Pembagian Pengalaman Bencana

Sabtu (13/04) PPI Jepang mengadakan International Webinar bertema “Disasters: Learning and Sharing Experience”. Webinar ini diadakan tidak hanya untuk memperkuat pengetahuan dan membangun budaya resiliensi kebencanaan kepada para hadirin, namun juga untuk memperkuat pengetahuan dan pengalaman antara Indonesia dan Jepang dengan mengundang beberapa narasumber dalam ahli bidangnya dari negara masing-masing. Diantaranya adalah Kepala BMKG, Kepala Pusdatin BNPB, Senior Advisor JICA, dan Direktur IRIDeS Tohoku University.

Webinar ini dibuka dengan pengiringan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang diikuti oleh sambutan dari Ketua PPI Jepang Fadlyanshah Farid. Beliau mengucapkan salam kepada semua yang telah hadir dalam acara ini, dilanjuti dengan menyebutkan kembali Tsunami Aceh 2004 serta kerusakan yang kita derita karenanya, dan harapannya untuk acara ini bisa menghasilkan banyak informasi yang bisa berguna bagi semua.

 

Hadir dalam acara ini juga, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI, Bapak Prof. Dr. Amzul Rifin, S.P. M.Si, memberikan sambutan kepada para hadirin. Bapak Amzul mengutarakan pentingnya akan menghadapi bencana seperti gempa bumi, dan bencana susulannya yang bisa mengakibatkan kehancuran infrastruktur dan kebakaran. Beliau juga menganjurkan bahwa kita harus belajar dari Jepang selaku negara yang sigap dalam tanggapan bencana alam, membangun infrastruktur siap tahan gempa, dan juga dalam mengdukasikan mengenai gempa sejak dini.

 

Memulai acara dengan narasumber pertama, Kepala Pusat Seismologi Teknik, Geofisika Potensial dan Tanda Waktu BMKG Bapak Setyoajie Prayoedhie, S.T. , Dipl. Tsu., M.DM. Bapak Setyoajie memulai pembicaraannya mengenai hasil analisa dari dua dekade semenjak tsunami Aceh 2004, serta menjelaskan solusi strategis untuk menghadapi tantangan dalam peringatan dini tsunami. Beliau berkata bahwa dikarenakan Indonesia secara geografis berdekatan dengan 4 lempeng tektonik, Indonesia dan juga secara khusus di wilayah selatan sangat rentan terhadap tsunami. Dari kejadian di Aceh, Bapak Setyoajie menjelas kan 4 pelajaran yang BMKG telah ambil dari komponen hulu dan hilir sistem peringatan dan mitigasi tsunami yaitu; pentingnya penempatan sistem observasi atau peringatan dini, pentingnya pendeteksi tsunami non-seismic, pentingnya pertukaran data, dan Adanya populasi masyarakat yang belim siap tindakan awal.

 

Dua peristiwa yang merupakan hasil dari 4 poin tersebut adalah Tsunami Palu dan Tsunami Selat Sunda tahun 2018. Disamping itu, Bapak Setyoajie memang mengakui bahwa pada saat itu, terdapat kelemahan dalam proses hilirisasi informasi peringatan dini kepada masyarakat di wilayah yang beresiko. Semenjak itu, BMKG telah memperkuat sistem peringatan dini di Indonesia dengan ekspansi seismograf dan sistem penerima peringatan, pembuatan alat simulasi tsunami, pembuatan peta potensi bahaya tsunami, dan juga sosialisasi pendidikan tindakan awal tsunami ke berbagai daerah.

 

Acara dilanjutkan dengan narasumber kedua yaitu Kepala Pusdatin BNPB Abdul Muhari, PhD.  Bapak Muhari berpresentasi mengenai penanggulangan bencana di Indonesia dan apa saja yang BNPB masih perlu lakukan. Beliau mulai dengan menjelaskan fungsi BNPB terkait dengan 3 fase bencana yaitu pra-bencana, selama bencana, dan pasca-bencana. Dalam fase pra-bencana, Bapak Muhari menjelaskan bahwa BNPB peran sebagai koordinator dalam pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan. Namun selama bencana hingga pasca-bencana, BNPB mengambil peran sebagai pemimpin dalam tanggap darurat dan pemulihan. Bapak Muhari menunjukkan data bahwa bencana alam yang terjadi pada tahun 2021 mengakibatkan dampak yang sangat besar, tidak hanya kepada angka korban jiwa, namun juga ke kerugian materil. Beliau lalu berkata pada tahun 2021 lah dimulainya penanggulangan bencana berdasarkan data yang terkumpul dari kejadian bencana, dan hasilnya adalah pengurangan angka korban jiwa dan kerugian materil, meskipun angka frekuensi bencana naik. Secara khusus BNPB telah berhasil mengurangi dampak bencana berfrekuensi tinggi, namun untuk bencana berfrekuensi rendah masih perlu diperjuangkan dikarenakan sifatnya yang sangat sulit diprediksi.

 

Berlanjut dengan narasumber ketiga acara, Senior Advisor JICA Prof. Satoru Nishikawa. Bapak Nishikawa berpresentasi mengenai promosi kebijakan pengurangan bencana berdasarkan bukti dan pembelajaran. Beliau memulai presentasinya dengan memperlihatkan daftar data yang menunjukkan peringkat gempa terkuat dan gempa paling mematikan di abad ke-20 hingga ke-21, dimana Indonesia dan Jepang berada di peringkat 3 dan 4 dalam urutan kekuatan gempa, namun sangat jauh dalam peringkat paling mematikan. Bapak Nishikawa menjelaskan walaupun tingkat bahaya gempa di Jepang dan Indonesia tinggi, jika saja kelemahan-kelemahan terhadap gempa tersebut bisa dikurangi maka gempa sebesar apapun hanya dapat menghasilkan kerusakan yang sangat sedikit. Mengenai bagaimana cara mengurangi kelemahan terhadap bahaya gempa, Bapak Nishikawa menyebutkan 4 fase pengurangan bencana yang terbagi dalam 2 kelompok yaitu; Pra-bencana yang mencakup prevensi, mitigasi, serta persiapan dan Pasca-bencana yang mencakup reaksi, rekronstruksi serta pemulihan.

 

Selain itu, dalam pengalaman Jepang menghadapi gempa bumi, Bapak Nishikawa menerangkan bahwa Jepang sangat sensitif terhadap kejadian masa lalu sehingga sangat waspada akan bahaya gempa. Dua aspek ini lah yang membantu Jepang selalu siap akan bencana gempa, yang diperkuat oleh diseminasi peristiwa tragis dari individu yang kurang siap menghadapi bencana, ataupun pembuatan media massa mengenai gempa seperti manga ataupun film.

 

Pembicaraan terakhir diisi oleh narasumber keempat acara dari Direktur IRIDeS Tohoku University Prof. Fumihiko Imamura. Bapak Imamura mempresentasikan pelajaran-pelajaran yang Jepang ambil dari bencana gempa tahun 2011. Beliau memulai pembicaraannya dengan menunjukkan data tsunami dan gempa bumi sepanjang 400 tahun sepanjang pulau Tohoku. Lalu ia menjelaskan apa saja bentuk penanggulangan tsunami yang Jepang telah implementasi, diantaranya struktur seperti tembok laut, pemecah ombak, dan tanggul. Selain itu ada juga penanggulangan non-struktur seperti sistem peringatan tsunami, gedung evakuasi, sarana pendidikan dan kesadaran mengenai tsunami, dan pembangunan monumen untuk mengingat kejadian tsunami tersebut. Setelah itu Bapak Fumihiko menjelaskan mengenai proyek yang dibuat jepang sejak tahun 1991 yaitu Pertukaran Simulasi Tsunami (TIME). Proyek TIME bertujuan untuk membagikan teknologi simulasi Tsunami kepada berbagai negara demi mengetahui peta bahaya Tsunami secara lebih efektif untuk semua, dan hingga tahun 2022 sudah terdapat 24 negara yang telah terintegrasi dalam proyek tersebut.

 

Menuju akhir pembicaraannya, Bapak Imamura menjelaskan sedikit lebih dalam mengenai sarana pendidikan dan monumen tsunami. Beliau memberi kutipan dari Prof. Torahiko Terada dari Universitas Tokyo tahun 1921 yang mengatakan, “Bencana akan datang ketika orang-orang telah melupakannya”. Dalam arti lain, jika orang-orang tidak melupakan bencana-bencana yang telah dilalui, tidak akan terjadi kerusakan skala besar lagi. Oleh karena itu sepanjang pesisir timur pulau Tohoku, pemerintah membuat banyak fasilitas peringatan bencana, dinamakan Densho Road yang penuh dengan taman, museum, dan monumen demi memperingati dan mengedukasikan orang-orang akan tragedi bencana tersebut.

Leave a Reply